Nifaq
Menurut bahasa:
“Nafiqaa”: salah satu lobang tempat keluarnya yarbu (hewan sejenis
tikus) dari sarangnya, dimana jika ia dicari dari lobang yang satu, ia akan
keluar dari lobang yang satunya.
“Nafaq”: lobang tempat bersembunyi
Menurut syara’: menampakkan keislaman dan kebaikan tetapi
menyembunyikan kekufuran dan kejahatan.
Jenis Nifaq
a) Nifaq I’tiqadi (keyakinan)
Ada 4 macam:
1. Mendustakan Rasulullah atau mendustakan sebagaian dari apa yang
beliau bawa
2. Membenci Rasulullah atau membenci sebagian apa yang beliau bawa
3. Merasa gembira dengan kemunduran agama Rasulullah
4. Tidak senang dengan kemenangan agama Rasulullah
b) Nifaq Amali (Perbuatan)
Perbedaan antara Nifaq besar dan Nifaq kecil
1. Nifaq besar : Mengeluarkan pelakunya dari agama Islam
Nifaq kecil : Tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam
2. Nifaq besar : Berbedanya yang lahir dgn yang bathin dalam hal
keyakinan
Nifaq kecil : Berbedanya yang lahir dengan yang bathin dalam hal
perbuatan
3. Nifaq besar : Tidak terjadi dari seorang mu’min
Nifaq kecil : Bisa terjadi dari seorang mu’min
4. Nifaq besar : Pada ghalibnya pelaku nifaq besar tidak bertaubat
Nifaq kecil : Pelakunya dapat bertaubat kepada Allah, sehingga
Allah menerima taubatnya
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku akan apa yang terbersit di
benaknya selama hal itu belum dilakukan atau diucapkan.” (HR Al-Bukhari dari
Abu Hurairah)
Contohnya adalah seseorang yang sholat dua rakaat dan sejak awal
ia ikhlas karena Allah semata. Pada rakaat kedua terbersitlah riya di hatinya
lataran dia sadar ada orang yang sedang memperhatikannya. Namun ia melawannya
dan terus berusaha agar tetap ikhlash karena Allah semata. Nah yang demikian
ini maka shalatnya tidak rusak insya Allah dan dia tetap akan mendapatkan
pahala sholatnya.
Pelakunya tidak berusaha melawan riya’ yang muncul bahkan larut
dan terbuai di dalamnya. Yang demikian ini maka rusak dan gugur pahala
ibadahnya. Contohnya adalah seperti yang disebutkan yaitu seseorang shalat
maghrib ikhlash karena Allah semata. Di rakaat kedua muncul lah riya’ di
hatinya. Nah kalau dia ini hanyut dalam riya’nya dan tidak berusaha melawan
maka gugurlah sholatnya.
3.Riya tersebut muncul setelah ibadah itu selesai dilaksanakan.
Yang demikian ini maka tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap ibadahnya
tadi.
Namun perlu dicatat, jika apa yang dilakukan adalah sesuatu yang
mengandung benih permusuhan seperti misalnya al-mannu wal adzaa dalam
bershadaqah, maka yang demikian ini akan menghapus pahalanya. Allah berfirman:
Artinya : “Janganlah kalian menghilangkan pahala shadaqah kalian
dengan menyebut-nyebutnya atau menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang
yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak berimana
kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 264)
Bukan termasuk riya’ seseorang yang merasa senang apabila
ibadahnya diketahui orang lain setelah ibadah itu selesai ditunaikan. Dan bukan
termasuk ke dalam riya juga apabila seseorang merasa senang dan bangga dalam
menunaikan suatu keta’atan, bahkan yang demikian ini termasuk bukti
keimanannya. Nabi bersabda: “Barangsiapa yang kebaikannya membuat dia senang
serta kejelekannya membuat dia sedih, maka dia adalah seorang mu’min (sejati).”
(HR. At-Tirmidzi dari Umar bin Khaththab)
Dan Nabi pernah ditanya yang semisal ini kemudin bersabda: “Yang
demikian itu merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mu’min.”
(HR. Muslim dari Abu Dzar).
0 komentar:
Posting Komentar